Kamis, 08 April 2010

ISBD

Tugas Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar ( ISBD )

MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESETARAAN

A. PENDAHULUAN

Ada tiga konsep yang menggambarkan masyarakat yang terdiri dari agama, ras, bahasa dan budaya, yakni:

1. Pluralitas (plurality)
Konsep pliralitas mengandaikan adanya hal-hal yang lebih dari satu (many) dan sekedar mempresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu).

2. Keragaman (diversity)
Keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang lebih dari satu itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tidak dapat disamakan. Pada abad ke-20, kemajemukan menjadi syarat demokrasi. Serba tunggal, misalnya satu ideology, satu partai politik, satu calon pemimpin, dianggap senagau satu bentuk pemaksaan dari Negara.

3. Multikultural (multicultural)
Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa maupun agama. Multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang public. Menurut Suparlan, seperti dikutip oleh Siswarini dan Kasijanto (2003), multikultiralisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan. Perbedaan yang dimaksudkan adalah perbedaan-perbedaan individual atau orang perorangan atau perbedaan budaya. Perbedaan budaya mendorong upaya terwujudnya keanekaragaman atau pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat yang mempunyai keanekaragaman kebudayaan, yaitu yang saling memahami dan menghormati kebudayaan-kebudayaan dari mereka yang tergolong sebagai kelompok minoritas.

Huntington mengemukakan enam alasan mengapa di masa mendatang akan terjadi benturan antara perbedaan yaitu:
1). Perbedaan antara peradaban tudak hanya riil, tetapi juga mendasar.
2). Dunia sekarang makin menyempit. Interaksi antar orang yang berbeda peradaban semakin meningkat.
3). Proses modernisasi ekonomi dan social dunia membuat orang atau masyarakat tercerabut dari identitas local meraeka yang sudah berakar dalam, disamping memperlemah Negara-negara sebagai sumber identitas mereka.
4). Tumbuhnya kessadaran peradaban dimungkainkan karena peran ganda barat. di satu sisi Barat berada dipuncak kekuatan, di sisi lain, dan ini mungkin akibat dari posisi Barat tersebut, kembalinya febomena asal, sedang berlangsung diantara peradaban-peradaban non-Barat.
5). Karakteristik dan perbedaan budaya kurang bias berkompromi dinabding karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi.
6). Regionalisme ekonomi semakin meningkat (Siswarini dan Kasijanto, 2003)

B. PLURALITAS MASYARAKAT INDONESIA

Dalam skala local, Indonesia merupakan bagian dari dunia global yang menghadapi gejala pliralitas etnis, agama, dan budaya. Indonesaia sebagai Negara bangsa memiliki karakteristik yang unik (Sunyoto Isman, 1992), yaitu merupakan Negara yang pluralistic dilihat secara vertical dan hotizontal.

a). Secara vertical
Secara vertical struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya polarisasi social berdasarkan kekuatan ekonomi dan politik. Struktur masyarakat terpolarisasi menjadi sebagian besar orang yang secara ekonomi dan politik lemah yang menempati lapisan bawah dan sebagian kecil orang yang secara ekonomi dan politik kuat yang menempati lapisan atas.

b). Secara horizontal
Secara horizontal, pluralitas masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, adat, dan kedaerahan. Perbedaan di bidang kehidupan mesyarakat tersebut yang menandai masyarakat Indonesia sebagai mesyarakat majemuk, seperti dikonsepkan oleh Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa Hindia-Belanda. Dikatakan oleh Furnivall, masyarakat Indonesia pada masa Hindia-Belanda adalah merupakan masyarakat majemuk, yakni suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesaatuan politik. Masyarakat dalam pengertian demikian merupakan suatu cirri masyarakat yang dikuasai memiliki perbedaan ras. Misalnya, struktur masyarakat Indonesia pada masa colonial terdiri dari masing-masing berasal dari ras yang berbeda.

Indonesia dikenal sebagai Negara kepulauan. Secara histories keadaan demikian memaksa penduduk di masing-masing pulau untuk hidup terpisah dan masing-masing membentuk komunitas, dan terbentuklah kesatuan yang disebut suku bangsa. Tiap kesatuan masing-masing suku bangsa mengembangkan kepercayaan, adat istiadat dan bahasanya sendiri.
Letak Indonesia yang strategis, yang berada di dua samudera, yaitu samudera Hindia dan samudera Pasifik menjadi factor yang mempengaruhi pluralitas agama di masyarakat Indonesia. Letak yang strategis tersebut menjadikan masyarakat Indonesia telah menjalin kontak dengan pengaruh kebudayaan luar yang dibawa oleh para pedagang asing. Pengaruh yang pertama kali menyentuh masyarakat Indonesia adalah pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha, yang masuk ke Indonesia kira-kira sejak tahun 400 setelah masehi..setelah itu pada abad ke-13 pengaruh Islam masuk ke Indonesia dan mencapai puncak perluasan pengaruhnya pada abad ke-15.
Pengaruh kebudayaan Barat dan agama Katolik mulai masuk ke Indonesia melalui kedatangan bangsa Portugis pada permulaan abad ke-16. ketika bangsa Belanda berhasil mendesak Portugis sekitar tahun 1600-an, maka pengaruh agama Katolik segera digantikan oleh pengaruh agama Kristen Protestan. Agama Katolik dan Kristen Protestan mempunyai pengaruh yang cukup kuat terutama di wilayah Indonesia bagian Timur.
C. BEBERAPA KASUS KONFLIK DI INDONESIA

Kebhinekaan demikian bagi bangsa Indonesia dapat menjadi kekayaan dan kebanggaan bila dikelola dengan baik, dan sebaliknya menjadi potensi konflik bila tidak dikelola dengan baik. Menjelang peralihan abad ke-20 ke abad ke-21 bangsa Indonesia dihadapkan pada serangkaian peristiwa konflik yang terjadi di berbagai daerah, seperti Jawa, Maluku, Poso, Mataram, Kupang, Papua, D. I. Aceh, dan daerah lainnya. Konflik dan kericuhan yang memakan korban ribuan jiwa, ribuan tempat tunggal dan ratusan tempat ibadah tersebut telah meninggalkan luka psikis yang amat dalam di kalangan mereka yang langsung maupun tidak langsung, terlibat dalam berbagai konflik tersebut.

1. Kerusuhan di Kupang, NTT
Kerusuhan di Kupang NTT terjadi pada tanggal 30 Nopember 1998. Konflik ini disebabkan oleh masalah tergesernya sumber ekonomi penduduk local oleh para pendatang, yang dipengaruhi pula oleh konflik agama dan politik. Percepatan perkembangan ekonomi dan agama ini menimbulkan masalah baru yaitu adanya kesenjangan antara penduduk asli dan pendatang. Sebagai gambaran pertumbuhan pemeluk agama di Kupang bila dibandingkan selama 50 tahun terakhir adalah pemeluk Islam mengalami perkembangan yang paling cepat kedua (17,66%) setelah Kristen Protestan (54,03%). Persoalan ini menimbulkan kecemburuan dan sentiment keagamaan, dan sifatnya sangat laten.
Penduduk local yang mayoritas beragama Kristen Protestan lebih menyukai sector birokrasi dibanding bergerak di bidang wiraswasta. Akibatnya tingkat kesejahteraan ekonominya mengikuti dan bergantung pada kenaikan gaji dari pemerintah. Selain itu, umumnya banyak yang bertumpu di sector pertanian dan pertukangan, serta buruh tani. Tingkat pengangguran, kemiskinan dan kepemilikan modal antara penduduk asli dan pendatang sangat jauh perbedaannya. Akibat semua ini terjadi perbandingan terbalik antara pola penguasaan ekonomi dan perbandingan jumlah penduduk.
Ketika terjadi penumpukan atas sumber masalah dengan faktor-faktor yang bersifat mempercepat, ditambah oleh adanya provokasi dari luar, terutama kasus kerusuhan di Ketapang, mengakibatkan benih-benih konflik semakin terbuka. Acara perkabungan yang diselenggarakan oleh GEMA KRISTI di NTT, berubah menjadi kerusuhan, ketika isu-isu gelap terjadi dalam suasana ketegangan social di Kupang yang sudah memuncak. Isu tersebut adalah adanya berita yang menyebar luas bahwa Geraja Ketedral Agung Kupang dibakar oleh massa Muslim. Demikian sebaliknya kelompok Islam menerima kabar bahwa Masjid At-Taqwa (masjid tertua di Kupang) dibakar oleh massa Nasrani. Akibat itu semua terjadilah saling menyerang di antara dua kelompok yang berbeda.

2. Kerusuhan di Sambas, Kalimantan Barat
Kerusuhan etnik yang berlangsung di Kalimantan Barat bersumber dari adanya rivalitas antar etnik yang berlangsung sejak lama. Kerusuhan antaretnik ini sudah berlangsung semenjak tahun 1950-an, khususnya pertikaian antara suku Madura melawan suku Dayak, yang nyaris tiada henti sementara itu suku Melayu yang selama ini tidak pernah terlibat konflik, ketika kekerasan demi kekerasan fisik bahkan pembunuhan yang dilakukan oleh suku Madura terus menimpa suku ini, maka hal ini dapat menumpuk semacam dendam. Toleransi terhadap suku Madura seakan-akan telah habis tatkala pada Hari Raya Idul Fitri (Januari 1999), yang dianggap sebagai hari raya umat Islam yang harus dihormati, justru orang Madura (yang juga beragama Islam) melah menodai hari tersebut dengan melakukan pembunuhan terhadap orang dari suku Melayu yang juga beragama Islam.
Hubungan antar suku di wilayah Kalimantan Barat pada umumnya tidak dapat berlangsung dengan baik dan harmonis, khususnya antara suku pendatang Madura dan pendidik asli Dayak dan Melayu. Sedangkan warga Cina perantauan kendati tidak pernah berani berkonfrontasi secara langsung juga menyimpan perasaan kurang senang terhadap perilaku etnik Madura, yang kerap mempraktekkan kultur kekerasan dan mau menang sendiri. Konflik lebih mengemuka dibanding kerjasama, dan integrasi gagal terwujud, karena adanya konflik cultural (akinat perangai orang Madura yang tidak dapat diterima oleh suku-suku lain) maupun pola pemukiman yang tersegregasi secara eksklusif. Kondisi ini diperparah oleh daya dukung lingkungan yang semakin menurun akibat kerusakan lingkungan, dan aparat keamanan tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai aparat penegak hukum.

3. Kerusuhan di Mataram, NTB
Kerusuhan di Mataram dan sekatarnya terjadi pada tanggal 17 Januari 2000, disebabkan oleh peobokaso dari para elit politik terhenti yang menyebabkan terjadinya kerusuhan di wilayah tersebut. Selain itu kerusuhan di Mataram juga sebagai dampak dari fanatisme agama pemeluknya (terutama Islam di Mataram) berhadapan dengan agrasifitas penyebaran agama Kristen yang sering memicu konflik berdimensi agama. Kondisi ini diperparah oleh adanya kesenjangan ekonomi antara penduduk local yang umumnya muslim dan kaum pendatang yang umumnya nasrani, segresi pemukiman antara penduduk pribumi dan nonpribumi, serta ketidaksiapan aparat keamanan dalam mengamankan acara Tabliq Akbar tanggal 17 Januari 2000. Di samping akar masalah tersebut, kerusuhan di Mataram juga dipicu atau disulut oleh seorang penceramah yang memprovokasi massa pasa acara Tabliq Akbar tersebut.

Heddy Shri Ahimsa-Putra (2001) mengajukan teori alternative untuk menjelaskan berbagai konflik dan kerusuhan missal, yaitu Teori kondisi social atau teori Rumput Kering. Teori ini dibangun atas sejumlah asumsi atau anggapan dasar, yaitu:
1. Berbagai macam peristiwa atau gejala social budaya –termasuk didalamnya konflik dan kekerasan missal- pada dasarnya tidak lahir dari sebuah kekosongan social-budaya, tetapi dari kondisi-kondisi tertentu yang ada dalam masyarakat.
2. Kondisi-kondisi dalam suatu masyarakat merupakan hasil dari sebuah proses sejarah yang bersifat khusus, yang tidak dialami secara persis oleh masyarakat yang lain.
3. Tidak semua kondisi social-budaya yang ada memberikan sumbangan yang sama besarnya untuk memunculkan suatu gejala atau peristiwa social-budaya tertentu.
4. Kondisi-kondisi social-budaya ini lebih-lebih memungkinkan kita memberikan penjelasan yang didasarkan atas fakta empiris, serta melakukan penelitian empiris untuk membuktikan kebenaran penjelasan tersebut, dibandingkan dengan apabila kita menggunakan teori-teori yang lain.

Yang dimaksud dengan kondisi-kondisi social adalah dirri, sifat atau karakter dari relasi-relasi antar individu, komunitas, kelompok dan golongan, dan relasi-relasi mereka berkenaan dengan sumber daya tertentu dalam suatu masyarakat, dalam suatu kurun waktu tertentu. Sedangkan kondisi-kondisi budaya adalah cirri, sifat atau karakter dari perangkat simbolis yang dimiliki oleh kelompok, komunitas dan golongan dalam suatu masyarakat mengenai kelompok, komunitas dan golongan serta mengenai sumber daya yang ada dalam lingkungan mereka dan penguasaannya.

Beberapa kondisi social-budaya primer dalam masyarakat:
1. Terdesaknya akses kelompok tertentu ke kekuasaan dan sumber daya.
2. Keterdesakkan terjadi melelui proses yang dianggap tidak adil atau curang
3. Penguasa baru atas akses dan sumber daya adalah para pendatang
4. Para pendatang berbeda suku, agama atau rasnya
5. Etnosentrisme dan eksklusivisme

Kondisi-kondisi sekunder dalam masyarakat:
1. Rasa keadilan masyarakat setempat yang tidak terepenuhi
2. Aparat pemeritahan yang tidak peka terhadap kondisi genting masyarakat.
3. Aparat pemerintahan yang memihak/mengutamakan salah satu kelompok
4. Kesadaran kesatuan bangsa masih lemah
5. Pengetahuan budaya local yang sangat kurang.


DAFTAR PUSTAKA

Tim ISBD UNESA. 2008. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Surabaya:Unipress

Tidak ada komentar:

Posting Komentar